
Identifikasi Penyebab Turunnya Partisipasi Pemilih pada Pilkada Tahun 2024 di Kabupaten Lingga
Pilkada tahun 2024 di wilayah Kabupaten Lingga telah terlaksana dengan baik dan lancar, tanpa adanya Pemungutan Suara Ulang (PSU) maupun putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menganulir hasil sehingga mengharuskan pengulangan tahapan. Artinya, proses demokrasi berjalan tanpa hambatan berarti yang menyebabkan Pilkada berlarut-larut.
Meski secara umum berjalan lancar, Pilkada serentak—yang baru pertama kali diterapkan secara nasional—meninggalkan sejumlah catatan penting yang patut dijadikan pembelajaran bagi pendewasaan demokrasi kita. Salah satunya adalah menurunnya tingkat partisipasi pemilih.
Berdasarkan data, tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 di Kabupaten Lingga tercatat sebesar 73,66%, atau mengalami penurunan sebesar 9,01% dibandingkan Pemilu terakhir, dan 6,87% lebih rendah dari Pilkada sebelumnya—yang notabene berlangsung di tengah pandemi.
Fenomena ini tentu memunculkan banyak pertanyaan. Apa penyebabnya? Artikel ini mencoba mengidentifikasi sejumlah variabel yang berpotensi menjadi penyebab, baik dari sisi elektoral maupun non-elektoral.
Mengurai Variabel Elektoral
Dari sisi regulasi, tidak ada perubahan signifikan. Pelaksanaan Pilkada 2024 tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, yang meski telah mengalami beberapa perubahan, namun tetap menjadi pedoman hukum yang sah.
Perbedaan utamanya terletak pada momentum pelaksanaan yang diserentakkan secara nasional, berbarengan dengan Pemilu. Meski begitu, beberapa aspek teknis dalam pelaksanaannya mengalami penyesuaian, seperti:
- Rentang waktu tahapan yang lebih singkat
- Penerapan teknologi informasi
- Penyusunan daftar pemilih berbasis data de jure
Aspek teknis tersebut dapat berdampak pada partisipasi pemilih. Misalnya, masa kampanye yang hanya berlangsung dari 27 September hingga 23 November 2024 (sekitar 56 hari), menjadi yang tersingkat dibandingkan Pilkada sebelumnya. Waktu yang terbatas ini kemungkinan tidak cukup bagi pasangan calon dan tim kampanye untuk membangun kedekatan emosional dan militansi di kalangan pemilih.
Daftar Pemilih Berbasis De Jure
Keberhasilan KPU dalam menyusun Daftar Pemilih Tetap (DPT) berbasis data de jure pada Pemilu 2024 patut diapresiasi. Indikatornya adalah minimnya keluhan masyarakat pada hari pemungutan suara terkait status mereka sebagai pemilih.
Namun, pendekatan de jure ini juga membawa konsekuensi. Pemilih yang berdomisili tidak sesuai dengan alamat di KTP tetap terdaftar di TPS asal (sesuai KTP). Akibatnya, sebagian pemilih tidak hadir di TPS karena tidak kembali ke alamat asal.
Data BPS menunjukkan bahwa terdapat sekitar 17.000 penduduk Provinsi Kepulauan Riau yang berdomisili tidak sesuai dengan alamat KTP-nya, termasuk penduduk Kabupaten Lingga. Fakta ini memperkuat asumsi bahwa sebagian pemilih tidak hadir di TPS karena faktor geografis dan administratif.
Menilai Variabel Non-Elektoral
Selain faktor teknis dan regulasi, dinamika sosial-politik dalam kontestasi juga turut memengaruhi partisipasi.
Pilkada 2024 di Kabupaten Lingga berlangsung relatif "tenang", tanpa isu kampanye negatif atau politik transaksional yang biasanya muncul menjelang pemungutan suara. Bawaslu Kabupaten Lingga juga tidak mencatat adanya temuan politik uang maupun mobilisasi pemilih.
Ketiadaan fenomena ini bisa jadi berdampak pada klaster pemilih pragmatis, yaitu kelompok pemilih yang biasanya termotivasi oleh insentif, seperti transportasi gratis atau pemberian uang saku. Ketika hal itu tidak terjadi, sebagian dari mereka memilih untuk tidak datang ke TPS.
Profil pasangan calon juga menjadi variabel yang tidak bisa diabaikan. Pilkada kali ini hanya diikuti oleh dua pasangan calon yang sama-sama merupakan incumbent Bupati Lingga dalam 10 tahun terakhir. Situasi ini berpotensi menyebabkan kejenuhan atau hilangnya minat bagi sebagian pemilih, terutama mereka yang menginginkan figur baru atau alternatif pilihan yang lebih beragam.
Di sisi lain, keserentakan Pemilu dan Pilkada di tahun yang sama menurut sejumlah akademisi juga memunculkan gejala kejenuhan politik di kalangan masyarakat. Ini tentu memerlukan kajian lebih lanjut, namun patut dipertimbangkan sebagai salah satu penyebab turunnya partisipasi.
Menarik Simpulan
Dari pemetaan di atas, dapat disimpulkan bahwa turunnya tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 di Kabupaten Lingga merupakan akibat dari kombinasi berbagai faktor, baik elektoral maupun non-elektoral. Masing-masing variabel saling memengaruhi dan memperkuat asumsi.
Opini ini diharapkan dapat membuka ruang diskusi dan kajian yang lebih dalam, berbasis data dan teori yang tepat, untuk kemudian menjadi bahan pembelajaran dalam merancang strategi peningkatan partisipasi pemilih pada pemilu mendatang—khususnya di Kabupaten Lingga.
Penulis:
Ardhi Auliya
Ketua KPU Kabupaten Lingga